Pukul 08.00 WIB kami berangkat dari Jatinangor menuju Cileunyi menggunakan angkot Sumedang-Cileunyi dengan ongkos Rp.10.000,00 untuk kami berlima. Tak terlalu lama, elf Leuwi Panjang-Cikajang datang untuk membawa kami sampai ke Cisurupan, salah satu jalur pendakian ke Papandayan, dengan biaya Rp.20.000,00 per orang. Kami tiba di Pasar Cisurupan pukul 10.40 WIB dan segera membeli makan siang untuk kami santap di Papandayan nanti siang. Dari pasar kami menggunakan ojek untuk sampai ke Pos Pendaftaran, untuk 3 ojek mematok biaya Rp. 45.000,00. Di sisi jalan tampak perkebunan warga, kebun labi siam, kopi, bahkan tembakau, menghiasi perjalanan kami yang kurang nyaman karena jalanan yang rusak. Dari utara tampak kepulan asap kawah Papandayan, di selatan tampak Cikuray menjulang tinggi di tengah kota Paris van Java ini.
Udara sejuk menyambut kedatangan kami di pos pendaftaran. Kami tiba pukul 11.40 WIB dan membeli tiket seharga Rp.2.000,00 untuk satu tiketnya. Dari pos terlihat jelas kepulan asap Papandayan di tengah bagian Papandayan yang lebih terlihat seperti tebing batu, bagian dari Gunung Papandayan yang pernah meletus 2002 silam, semakin membuat rasa ingin tahu kami akan Papandayan memuncak. Kami berjalan menyusuri pohon-pohon cantigi di sisi kanan-kiri jalan, dengan bebatuan di sepanjang penglihatan kami.
Begitu terlihat jejak meletusnya Papandayan 2002 silam, batu-batuan dimana-mana, dan terlihat pula penanggulangan yang diberlakukan demi hijau dan lestarinya kembali Papandayan dengan hadirnya bibit cantigi sebagai penghijauan Papandayan. Di sisi kiri jalan tampak sungai kecil mengalir, dengan airnya yang berwarna hitam. Kami segera mendekat, dan bau belerang menyeruak dari air yang terus mengalir perlahan.
Kami tiba di depan Gunung Papandayan, untuk menuju Pondok Saladah kami menggunakan jalur kanan, dan melewati jalan kecil yang menurun di tengah rimbunnya cantigi. Sungai kedua kami temukan, namun sungai ini jernih, tak seperti sungai sebelumnya, namun tetap saja airnya berbau belerang. Tanjakan licin kami lalui, barulah rimbunnya pepohonan dan perdu hadir di hadapan kami. Medan selanjutnya mengingatkan kami pada Gunung Gede, tanjakan tanah berbatu dengan lebatnya pohon cantigi, mirip namun tak sejauh di Gede. Kami sempat berpapasan dengan bapak tim yang membangun Panel Surya untuk Pengaman Gunung Papandayan. Hanya butuh waktu sebentar untuk melalui rimbunnya pohon cantigi, kemudian sampai di jalan setapak yang cukup besar. Dari sini semakin tampak keindahan perpaduan antara Gunung Cikuray dan Papandayan.
Mengikuti jalan setapak, sampailah pada pertigaan jalan, ke utara untuk sampai ke Pangalengan, Bandung, dan ke Barat adalah jalan untuk sampai ke Pondok Saladah. Berjalan di antara rimbunnya pohon kali ini bukan hanya cantigi, kami harus konsentrasi karena di sisi kiri jurang. Pukul 13.30, kami menginjakkan kaki di sebuah padang luas, tenang, dan sangat asri, Pondok Saladah. Dari kejauhan tampak pohon edelweiss tinggi yang sedang berbunga dan sedang mekar membuat kami tak ingin membuang kesempatan mengabadikan moment bersamanya.
Makan siang bersama di Pondok Saladah, disuguhi pemandangan indah Papandayan menjadi kenikmatan tersendiri bagi kami. Setelah makan, kami shalat dan melanjutkan berkeliling di sekitar Pondok Saladah yang rimbun dengan edelweiss yang mekar mengeluarkan wangi yang harum, khas bunga abadi.
Pukul 15.25 WIB kami bersiap untuk kembali pulang ke Jatinangor. Semakin sore, asap yang dikeluarkan kawah Papandayan semakin tebal dan Cikuray seakan ditutupi kabut. Kami turun melalui jalan yang sama seperti saat naik.
Dan untuk terakhir kali, kami mengabadikan gambar bersama asap kawah yang terus-menerus berlomba mengeluarkan asap-asapnya. Kami tiba di Pos Pendaftaran kembali pukul 16.35 WIB, dan beristirahat di warung penjual makanan disana. Kami naik mobil pick-up dengan biaya Rp.50.000,00 untuk kami berlima. Turun di Pasar Cisurupan kembali pukul 17.35, kami menggunakan elf kembali dengan ongkos yang lebih murah, Rp.12.000,00 per orangnya. Tak terasa perjalan kami sudah selesai karena kami sudah hampir sampai ke tempat tinggal kami, Jatinangor. Hanya satu keinginan kami, semoga kelak kami masih bisa menginjakkan kaki di tanah, sejarah keluarga kami. Salam Rimba!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar